Tari Perang Adat Minahasa
Apa yang bisa kita lakukan untuk melestarikan budaya Indonesia? Cara yang bisa dilakukan sebenarnya sangat banyak, bahkan mungkin dengan cara yang paling sederhana. Sekarang tinggal bagaimana niat dari kita untuk melestarikan tarian-tarian Nusantara.
Salah satu cara yang saya lakukan adalah dengan cara menarikan salah satu tarian Nusantara dalam rangka praktek seni budaya di Sekolah. Tarian yang saya bawakan berasal dari Minahasa, Sulawesi Utara. Tarian ini biasa digunakan untuk penyambutan tamu dan kerap dipertontonkan pada saat hari-hari besar maupun pada acara-acara daerah. Seluruh penari berwajah garang dan mata melotot lengkap dengan pakaian serba merah, membuat kesan garang prajurit Minahasa zaman dulu. Tarian ini diiringi oleh alat musik pukul seperti gong, tambur, atau kolintang yang disebut dengan “Pa‘ Wasalen”, kemudian para penarinya disebut Kawasalan, yang berarti menari dengan meniru gerakan dua ayam jantan yang sedang bertarung.
Kata Kawasalan ini kemudian berkembang menjadi "Kabasaran" yang merupakan gabungan dua kata “Kawasal ni Sarian” “Kawasal” berarti menemani dan mengikuti gerak tari, sedangkan “Sarian” adalah pemimpin perang yang memimpin tari keprajuritan tradisional Minahasa.
Tarian Kabasaran umumnya terdiri dari tiga babak :
1. Cakalele, yang berasal dari kata “saka” yang artinya berlaga, dan “lele” artinya berkejaran melompat – lompat. Babak ini dulunya ditarikan ketika para prajurit akan pergi berperang atau sekembalinya dari perang. Atau, babak ini menunjukkan keganasan berperang pada tamu agung, untuk memberikan rasa aman pada tamu agung yang datang berkunjung bahwa setan-pun takut mengganggu tamu agung dari pengawalan penari Kabasaran.
2. Babak kedua ini disebut Kumoyak, yang berasal dari kata “koyak” artinya, mengayunkan senjata tajam pedang atau tombak turun naik, maju mundur untuk menenteramkan diri dari rasa amarah ketika berperang. Kata “koyak” sendiri, bisa berarti membujuk roh dari pihak musuh atau lawan yang telah dibunuh dalam peperangan.
3. Lalaya’an. Pada bagian ini para penari menari bebas riang gembira melepaskan diri dari rasa berang seperti menari “Lionda” dengan tangan dipinggang dan tarian riang gembira lainnya. Keseluruhan tarian ini berdasarkan aba-aba atau komando pemimpin tari yang disebut “Tumu-tuzuk” (Tombulu) atau “Sarian” (Tonsea). Aba-aba diberikan dalam bahasa sub–etnik tombulu, Tonsea, Tondano, Totemboan, Ratahan, Tombatu dan Bantik. Pada tarian ini, seluruh penari harus berekspresi Garang tanpa boleh tersenyum, kecuali pada babak lalayaan, dimana para penari diperbolehkan mengumbar senyum riang.
Seiring tidak ada lagi peperangan antar daerah, tari Kabasaran kini dijadikan sebagai tari penyambutan tamu dan hiburan warga Minahasa ketika menyelenggarakan pesta adat.
Ayoo kita lestarikan budaya kita agar di kenal lebih banyak orang, kalau bukan kita siapa lagi ??